Kamis, 13 September 2012

DIARY 5: Esensi kehidupan


Ternyata  setelah beberapa kali hari minggu saya melakukan aktifitas bersepeda, saya mulai bisa menikmati aktifitas luar ruang yang satu ini, bisa dikatakan inilah hobby baru saya. Meski pun keringat bercucuran, namun badan terasa segar dan bugar tiap kali sehabis bersepeda, hingga kegiatan  ini tidak saja saya lakukan hanya pada hari Minggu, namun juga pada hari-hari lainya.  

Hingga pada suatu hari minggu yang permai di pertengahan bulan May 2012,  saat hendak mulai bersepeda, keduaroda sepeda menunjukkan gejala kekurangan tekanan udara, sehingga saya harus menuntunnya terlebih dahulu ke bengkel terdekat. Namun karena pagi masih cukup dini, terpaksa saya menuntun cukup jauh untuk mendapat bengkel yang sudah buka. Untung tidak seberapa jauh saya temukan juga sebuah bengkel motor kecil yang sudah memulai kegiatannya cukup awal, dan dengan gembira saya pun memasuki bengkel tersebut.


Saya disambut oleh anak muda yang tampak sangat bersemangat membersikan halaman bengkelnya.

"Mau perbaiki apanya Om?" tanya si anak muda dengan nada yang sopan.
"Cuma minta tolong dipompakan saja dik" jawab saya sambil menyodorkan sepeda.
"Beres om" jawabnya pula

Tidak memelukan waktu lama untuk mengisikan udara ke dalam dua ban roda-roda, dan setelah membayar ongkos yang ditagih, saya ucapkan terimakasih untuk segera berlalu, Namun si anak muda ini rupanya masih senang berbasa-basi  dengan saya.


"Mau bersepeda kemana nih Om?", tanyanya.


"Biasa nih, mau jalan-jalan sampai pantai Kedonganan".


"Trus teman-temannya mana om?" tanyanya lagi.


"Waduh dek, saya kalo bersepeda biasa sendiri, soalnya kalo rame-rame saya bisa malu kalo nanti kecapaian dan harus minta berhenti" jawab saya sekenanya.


Ya, saya memang menjawab sekenanya saja untuk pertanyaan terakhir tadi, karena terusterang, sesungguhnya saya  benar-benar tidak memiliki jawaban yang tepat  untuk pertanyaan tersebut. Bagi saya saat itu, pertanyaan tersebut ibarat tinju pamungkas  Mike Tyson yang meng-KO lawan-lawannya di ronde-ronde awal sebuah pertandingan,  benar-benar menohok ke ulu hati dan menghujam ke dalam benak saya. Mungkin kedengarannya itu seperti sebuah pertanyaan yang sederhana dan biasa saja, namun jika direnungkan  dengan seksama, sesungguhnya pertanyaan itu merengkuh  jauh ke esensi terdalam kemanusiaan yakni : bahwa seorang anak manusia tidak dapat melepaskan diri dari perannya sebagai mahluk sosial .


Ya,  sebagai mahluk sosial maka manusia akan selalu mebutuhkan manusia lainnya untuk berinteraksi. Dan jangan-jangan di mata pemuda di bengkel tadi saya ini sejenis manusia yang berjiwa asosial.


Sambil bersepeda, saya masih terus memikirkan apa yang ditanyakan  si anak muda tadi, dan ternyata saya baru menyadari bahwa selama ini saya selalu bersepeda seorang diri. Kebetulan setiap hari minggu pagi  jalan By Pass Nusa Dua sepertinya menjadi salah satu jalur favorit bagi para penghoby bersepeda, dan pemandangan yang selalu saya lihat adalah kelompok orang bersepeda  mulai dari rombongan-rombongan kecil (2 – 3 orang) hingga ke rombongan yang cukup besar (4 sampai 10 orang ), kalau pun ada yang bersepeda sendiri seperti saya, hanyalah satu dua saja.

Apakah saya ini tidak memiliki teman? Meski sudah hampir dua setengah tahun tinggal dan bekerja di Bali, namun rutinitas yang saya jalani sehari-hari adalah rutinitas seputar berangkat dari rumah ke tempat kerja, sebuah proyek pembangunan hotel bintang lima di daerah Canggu. Berangkat pukul setengah delapan pagi, baru pulang paling cepat pukul enam atau setengah tujuh dari tempatkerja.  Dan dengan hari kerja yang Senin hingga Sabtu,  praktis saya hanya memiliki sedikit waktu terluang untuk kegiatan lain serta untuk bersosialisasi. Hari Minggu biasanya saya luangkan untuk di berjalan-jalan bersama istri dan anak-anak, beserta seorang kawan karib keluarga kami.

Ini tentu amat berbeda ketika saya masih bujang dan bekerja di Jakarta dulu. Saya amat banyak memiliki kegiatan selain bekerja. Saya memiliki kawan-kawan dari kegiatan Paduan Suara; saya masih rajin berkumpul dengan kawan-kawan dari masa Sekolah Dasar, SMP, SMA dan Kuliah; sesekali saya masih mengkontak dan bertemu dengan kawan-kawan dari tempat bekerja sebelumnya di sebuah radio swasta niaga. Untuk kegiatan bermusik, saya aktif berkumpul dan bersosialisasi di sebuah kommunitas Jass.  Dengan tetangga seputaran rumah pun saya selalu menyempatkan diri dalam berbagai kegiatan. Belum lagi terhitung teman-teman yang secara aktif berhubungan melalui jalur dunia maya. Wah kalo boleh membanggakan diri, saya ini bisa dibilang adalah pribadi yang cukup bergaul dan bersosialisasi.

Dalam situasi seperti ini, ada rasa amat rindu dengan sahabat-sahabat saya saat masih di Jakarta dulu.

Tak terasa, memikirkan pertanyaan si penjaga bengkel tadi, saya telah menggowes jauh melebihi target saya ke Pantai Kedonganan, ya sudahlah pikir saya, sepeda pun saya arahkan sekalian ke Pantai Kuta, di sana lebih ramai dan barangkali saja saya bisa dapat teman untuk diajak bersepeda bersama-sama (endingnya mudah ditebak, saya tetap saja bersepeda sendirian).

Selepas area Kuta, saat hendak kembali menuju rumah, telepon di saku tas berdering,

“Pak lagi di mana?” suara istri saya di seberang telepon.

“Masih di Kuta nih mah, sudah mau pulang”.
“Kalo gitu aku jemput di pertigaan pasar Kuta ya Pak, ini kebetulan si Agam (salah seorang sahabat kami ketika di Jakarta dulu) sedang ada di Bali, nginep di daerah Kuta, aku mau jemput ke penginapannya”.

Aaaahhh... betapa senangnya ada seorang sahabat yang datang dari Jakarta dan menyempatkan diri untuk bertemu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar